Masih
relevan kah platform pancasila dengan kondisi sosial ekonomi saat ini?
Pertanyaan
itulah yang akan penulis jelaskan dalam blog kali ini.
Berbicara mengenai Sistem Ekonomi
Indonesia, sudah sedari awal sekolah kita diajar bahwa Indonesia tidak menganut
sistem ekonomi liberalisme maupun etatisme. Sistem ekonomi yang dianut
Indonesia adalah sistem ekonomi Pancasila yang berasas kerakyatan. Namun, dalam
praktek, kapitalisme atau mungkin bisa disebut dengan neo liberalisme lah yang
banyak bermain.
Ekonomi
Pancasila
Bicara Ekonomi Pancasila rasanya
menjadi “anomi” saat ini, Anda seperti tampil dengan kaos oblong di tengah
hiruk-pikuk pesta dengan pakaian gemerlap. Terminologi ini menjadi kurang
populer sebab tidak lagi senapas dengan arus utama (mainstream) pemikiran
ekonomi nasional saat ini yang secara telanjang menganut paham liberal. Secara
teori, Ekonomi Pancasila didefinisikan sebagai sistem ekonomi yang dijiwai
ideologi Pancasila, merupakan usaha bersama yang berasaskan kekeluargaan dan
kegotongroyongan nasional.
Sistem ekonomi ini memiliki lima
ciri utama, yaitu roda perekonomian digerakkan oleh rangsangan ekonomi, sosial
dan moral, kehendak kuat dari seluruh masyarakat ke arah keadaan kemerataan
sosial (egalitarianisme), sesuai asas-asas kemanusiaan, prioritas kebijakan
ekonomi adalah penciptaan perekonomian nasional yang tangguh yang berarti
nasionalisme menjiwai tiap kebijakan ekonomi, koperasi merupakan saka guru
perekonomian dan merupakan bentuk paling kongkrit dari usaha bersama.
Sistem Ekonomi Pancasila merupakan
sistem ekonomi campuran. Namun dalam sistem ekonomi tersebut mengandung
ciri-ciri positif dari kedua sistem ekstrim yang dikenal yaitu
kapitalis-liberalis dan sosialis-komunis (Mubyarto, 1980). Peranan unsur agama
sangat kuat dalam konsep Ekonomi Pancasila. Karena unsur moral menjadi salah
satu pembimbing utama pemikiran dan kegiatan ekonomi. Jika dalam ekonomi Smith
unsur moralitasnya adalah kebebasan (liberalisme) dan ekonomi Marx adalah
diktator mayoritas (oleh kaum proletar) maka moralitas Ekonomi Pancasila
mencakup ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan sosial.
Terlepas sistem apa yang kita anut,
sebenarnya apa yang terjadi pada sistem perekonomian kita saat ini telah
disoroti banyak kalangan, selain liberalisasi yang kebablasan, secara
fundamental arahnya telah jauh melenceng dari napas Pancasila dan UUD 45.
Aktivitas perekonomian hanya diarahkan untuk memenuhi kepentingan sesaat
kelompok tertentu, jauh dari pemerataan, dan yang tentu saja berperspektif jangka
pendek.
Pembangunan ekonomi berbasis
ideologi Pancasila pun menjadi isapan jempol di tengah arus
“pragmatisme-oportunisme” yang dipraktikkan oleh negara dan segenap
perangkatnya. Cara berpikir seperti ini bahkan merasuk sangat jauh pada tatanan
ekonomi-politik kita. Lihat saja, meskipun ideologi sebuah partai dibahas
siang-malam dalam kongres, namun tidak pernah aktual. Partai dengan ideologi
yang sama tidak bisa hidup berdampingan, sebaliknya mereka justru berkoalisi
dengan ideologi berbeda. Ya, kita sudah terbiasa ber-ideologi tanpa ideologi,
yang penting kepentingan!
Kondisi di atas sebenarnya bukan hal
baru bagi tatanan bernegara sebuah bangsa. Di dunia ketiga dimana masyarakatnya
kurang “terdidik” dan hidup dibawah garis kemiskinan, daripada berdebat
persoalan ideologi, mereka hanya butuh makan untuk menyambung napas esok. Wajar
jika penguasanya tidak tertarik pada basis pembangunannya, mereka hanya ingin
kekuasaannya bertahan sehingga akumulasi materi bisa ditumpuk. Kasus
negara-negara di Afrika jelas merefleksikan kondisi ini.
Di negara-negara yang kita kenal
sebagai dedengkot komunisme pun kini tidak tahan dengan rayuan pragmatisme yang
menyerbu layaknya air bah, gelombang informasi tidak hanya membawa keterbukaan
tetapi juga “nafsu baru” untuk memiliki segala sesuatu secara instan. Wajar
jika di Rusia dan China, ideologi ekonomi lebih merupakan pajangan daripada
substansi. Ideologi mereka sekarang menjadi label, papan nama atau sejenisnya,
tidak serta-merta merefleksikan perilaku mereka.
Ideologi ekonomi komunis yang dianut
justru dalam praktiknya menjadi sangat liberal, situasi ini mirip dengan
pendemo di tanah air yang dengan lantang menyuarakan anti kapitalisme,
neo-kapitalisme dan sejenisnya, tapi setelah lelah berorasi mereka mencari pedagang
asongan dan berkata”Bang Coca Cola nya dua ya…” sambil berteduh di bawah pohon.
Jadi, Melihat penerapan ekonomi
Pancasila kita yang masih amburadul. Sistem ekonomi Pancasila yang katanya kita
anut ternyata tidak kita terapkan dengan semestinya. Bahkan masih jauh dari
konsep awalnya. Ia hanya sebatas simbolisme formal dalam setiap seremoni
kenegaraan. Berkaca pada kondisi masyarakat Indonesia sekarang serta mengintip
sejarah sistem perekonomian kita sejak merdeka hingga sekarang. Sudah
seharusnya kita mengevaluasi diri, sebenarnya kita menganut sistem ekonomi yang
mana? Bagaimana dengan sistem ekonomi Pancasila? Akankah hal tersebut hanya
sebuah konsep yang masih diawang-awang? Lalu, mau dibawa kemana Indonesia, jika
asas dasarnya saja tidak dipakai dengan baik?
Konsep ekonomi Pancasila yang sejak
awal digariskan oleh Profesor Mubyarto, unsur moral dan sosial merupakan unsur
yang banyak bermain di dalamnya. Dengan memperhatikan nilai-nilai tersebut,
budaya korupsi tak akan mengakar, dan orang kaya pun tetap akan melirik rakyat
miskin. Sudah selayaknya konsep bagus dari Profesor Mubyarto ini tidaklah kita
abaikan begitu saja menjadi sebuah catatan. Jika kita memang menganut sistem
ekonomi Pancasila, sudah seharusnya filosofi dalam sistem tersebut kita
terapkan. Namun, jika kita memang tidak menganut sistem ekonomi Pancasila,
lantas kita menganut sistem ekonomi yang mana ?
Pertumbuhan
ekonomi Indonesia selama tiga dekade terakhir diakui telah banyak memberikan
kemajuan materiil, tetapi mengandung dua masalah serius. Pertama,
perekonomian Indonesia masih sangat rentan terhadap kondisi eksternal dan
volatilitas pasar finansial dan komoditas. Kedua, kemajuan ekonomi
yang telah dicapai ternyata sangat tidak merata, baik antardaerah maupun antar
kelompok sosial ekonomi. Kemajuan materiil yang telah dicapai melalui strategi
pertumbuhan selama 30 tahun terakhir ini tidak banyak memberikan sumbangan yang
sesungguhnya terhadap “pembangunan”.
Hal ini
selanjutnya membawa kita pada dilema,karena pertumbuhan ekonomi harus
didahulukan untuk mencapai tujuan-tujuan lain dalam pembangunan. Kelompok
lainnya berpendapat, bahwa bertolak dari tujuan yang sebenarnya ingin dicapai,
maka aktivitas yang berkaitan langsung dengan masalah pembangunan itulah yang
seharusnya didahulukan, sehingga tercapai pertumbuhan ekonomi yang
berkelanjutan. Perdebatan ini menarik untuk diikuti karena masing-masing
kelompok berpendapat dengan argumen yang kuat dan pentingnya peran kelembagaan
dalam pembangunan. Selama aspek kelembagaan belum diperhatikan dengan baik,
maka akan sulit untuk merumuskan dan melaksanakan aktivitas pembangunan yang
mendukung terwujudnya pemerataan sosial, pengurangan kemiskinan, dan
usaha-usaha peningkatan kualitas hidup lainnya. Aspek kelembagaan ini berperan
penting dalam meningkatkan kemampuan ekonomi masyarakat, khususnya masyarakat miskin,
dalam memanfaatkan kesempatan ekonomi yang ada. Inovasi dalam kebijakan publik
semacam ini akan senantiasa memberikan perhatian terhadap tiga hal penting,
yaitu etika, hukum, dan ilmu ekonomi.
Penerapan
konsep-konsep ekonomi yang tepat untuk ekonomi Indonesia. Banyak ekonom
Indonesia yang berkiblat pada teori ekonomi neoklasik tanpa mempertimbangkan
sesuai tidaknya teori tersebut untuk dikembangkan dan diterapkan pada kebijakan
ekonomi Indonesia. Proponen paham ini mengambil konsep-konsep ekonomi neoklasik
secara murni, yaitu dengan mengedepankan metode deduktif dan menganggap ilmu
ekonomi sebagai ilmu positif yang dapat diterapkan secara umum di mana saja,
tanpa mempertimbangkan perbedaan nilai-nilai kultural dan sosial suatu bangsa.
Pentingnya
Ekonomi Pancasila sebagai fondasi moral kebijakan pembangunan Indonesia. Yang
ironis, Pancasila sebagai prinsip etika ditolak oleh ekonom neoklasik serta
dianggap tidak relevan dan tidak konsisten dengan ilmu ekonomi barat yang “value-free”. Seolah-olah
Ekonomi Pancasila tidak dapat memberikan sumbangan pada perkembangan ekonomi
modern. Akibatnya, konsep ilmu ekonomi impor yang cenderung menekankan pada
liberalisme, individualisme, dan memandang uang sebagai segala-galanya, lebih
dikenal luas dan dianggap cocok untuk diterapkan pada perekonomian Indonesia.
Mengubah
pandangan para ekonom yang sudah terlanjur fanatik terhadap konsep-konsep
tersebut tidaklah mudah. Salah satu yang dapat dilakukan pada saat ini adalah
mengubah isi dan metoda pengajaran ilmu ekonomi di Indonesia. Pengajaran
ilmu ekonomi hendaknya tidak terlalu mengarah kepada ilmu ekonomi Barat (American
economics textbooks). Teori-teori yang diajukan harus disesuaikan
dengan situasi di Indonesia melalui empirical inductive methodology.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar